Jumat, 18 Maret 2016

Teori Struktural-Konsensus Emile Durkheim



Teori Struktural-Konsensus Emile Durkheim

Durkheim memandang konsensus-struktural ialah di mana seorang harus mempertahankan keberadaannya atau status sosialnya sehingga orang tersebut tidak mengalami perubahan dalam lingkungan sosialnya. Sosiologi ada dua macam yaitu sosiologi orang kaya dan sosiologi orang miskin, dan pelopor sosiologi orang kaya tersebut adalah Emile Durkheim. Menurut Emile Durkheim sosiologi ialah ketika seseorang harus bisa menciptakan kondisi yang stabil tanpa ada perubahan. Contoh: pada masa orde baru presiden memberikan mandate bahwa semua PNS untuk memilih golongan partai yang telah disepakati oleh presiden pada saat itu, hal ini membuktikan bahwa pada masa itu teori struktural-konsensus dalam perspektif Emile Durkheim telah digunakan dalam sistem politik untuk mempertahankan suatu kondisi yang stabil tanpa ada perubahan.
Diberi nama structural dikarenakan struktur lebih dipentingkan oleh Durkheim, sedangkan konsensus yang berarti kesepakatan, maksudnya consensus itu karena seolah-olah ada kesepakatan. Ilmu sosiologi muncul karena rata-rata orang itu berpikir seolah-olah ada kesepakatan. Walaupun ada orang yang berpikir sesuatu aturan tidak benar, tetapi kebanyakan orang berpikir “kayaknya aturan ini sudah benar”, sehingga orang yang berpikir tidak benar pun akan berpikir seperti orang-orang yang berpikir benar. Fakta mempengaruhi individu.
Durkheim juga menegaskan ciri yang penting dalam teori konsensusnya yaitu bahwa struktur sosial terdiri dari norma-norma dan nilai, yaitu di mana setiap orang yang memiliki budaya berbeda tentu mempunyai perilaku yang berbeda pula, dan kita harus sosialisasi agar bisa menyelaraskan kehidupan dalam lingkungan sosial yang berbeda budaya. Pencapaian kehidupan sosial manusia dan keteraturan sosial dalam masyarakat dipahami Durkheim sebagai sebuah solidaritas sosial yaitu di mana manusia belajar dasar-dasar standarisasi menjalani aturan perilaku melalui sosialisasi, walaupun pada kenyataannya aturan-aturan tersebut berada eksternal dalam diri manusia tersebut, meski tidak nyata namun struktur kebudayaan tersebut dirasakan nyata bagi yang menjalankannya dalam satu lingkungan sosial .
Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain itu, sebagai perbandingan John Hagan mengklasifikasikan teori-teori kriminologi menjadi :
§         Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.
§         Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal/hidup.
§         Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.
Dari klasifikasi di atas, dapat ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidaklah identik/sama. Aspek ini teoritisi utama (dramatis personal) yang mencetuskannya. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi adanya subyektivitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan dikotomi dan bersifat artifisial.
     Teori Konsensus berpendapat bahwa aturan kebudayaan suatu masyarakat, atau struktur, menentukan perilaku anggotanya, menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara tertentu yang mungkin ber beda dari masyarakat yang lain. Mereka melakukan hal itu dengan cara yang mirip dengan kontruksi  fisik bangunan, yang menstrukturkan tindakan orang yang berada di dalamnya. Ambillah contoh perilaku siswa di sekolah. Ketika berada dalam lingkungan sekolah, mereka memiliki pola perilaku yang relative teratur. Mereka berjalan disepanjang koridor, naik dan turun  tangga, keluar dan masuk kelas melalui pintu tertentu. Mereka tidak keluar atau masuk kelas melalui jendela, memanjat tembok, dan sebagainya. Gerakan fisik mereka dibatasi oleh bangunan sekolah. Karena hal ini mempengaruhi semua siswa sama, perilaku mereka di dalam sekolah akan sama dan akan menunjukkan pola yang cukup jelas. 
     Dalam teori consensus, hal yang sama juga terjadi di dalam kehidupan social. Individu akan berperilaku sama dalam latar social yang sama karena mereka dibatasi oleh aturan-aturan kebudayaan yang sama. Meskipun struktur social ini tidak Nampak dalam hal struktur fisiknya, orang yang  disosialisasikan dalam aturan ini menemukan hal ini menentukan.
     Tingkatan dimana aturan-aturan kebudayaan ini bekerja dapat bervariasi. Aturan tertentu, hukum misalnya, bekerja pada tingkatan seluruh masyarakat dah menstrukturkan perilaku setiap orang  yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Aturan-aturan yang lebih khusus, menstrukturkan orang-orang dalam latar yang lebih khusus pula. Misalnya, anak-anak dikelas diharapkan untuk berperilaku tertib, dan penuh perhatian. Contoh lain, ketika petugas polisi atau perawat, atau tentara sedang bertugas, aturan kebudayaan tertentu menstrukturkan kelakuan mereka sangat kaku. Selepas batas-batas ini tidak diterapkan, dan sebagai gantinya adalah, aturan-aturan dalam keluarga, sebagai ayah,ibu atau anak, atau sebagai suami atau istri.
     Hal di atas menunjukkan bagaimana teori struktur social dari aturan kebudayaan bekerja. Aturan ini tidak diterapkan kepada individu itu sendiri, melainkan kepada posisi dalam struktur social yang mereka tempati. Penjaga toko, polisi, pengatur lalu lintas, guru atau siswa dibatasi oleh ekspektasi kebudayaan yang diterapkan pada posisi  ini, tetapi hanya jika mereka menempati posisi tersebut. Dalam lingkungan yang lain, dalam lokasi yang lain dalam struktur social sebagai ayah atau ibu, pemain squash, pendukung tim sepak bola, jemaah gereja, dan seterusnya. Aturan-aturan yang lain bekerja.

     Para sosiolog menyebut posisi-posisi dalam struktur social sebagai peranan. Aturan yang menstrukturkan perilaku orang-orang yang menempati posisi disebu norma. Ada aturan kebudayaan tertentu yang tidak melekat pada peranan atau perangkat peranan tertentu. Disebut nilai, yang merupakan ringkasan dari cara-cara hidup yang sudah disepakati bersama, dan bertindak sebagai basis yang dari basis ini norma-norma tertentu berlaku. Jadi, misalnya ,”Pendidikan harus menjadi kunci keberhasilan” ; “Hubungan keluarga harus menjadi peranan paling penting untuk dilindungi” ; “ Kemandirian harus menjadi syarat bagi pencapaian individual.” Semua ini adalah nilai, dan nilai ini menjadi prinsip umum, yang menjadi sumber norma bagi mengarahkan perilaku disekolah, dirumah, dan ditempat  dan kerja.
     Menurut teori sosiologi ini, sosialisasi menjadi norma dan nilai menghasilkan kesepakatan, atau consensus, diantaranya orang-orang mengenai perilaku dan keyakinan yang sesuai, yang tanpa kedua hal ini masyarakat tidak dapat hidup. Itulah sebabnya cara pandang ini disebut teori structural consensus.melalui sosialisasi, aturan-aturan kebudayaan menstrukturkan perilaku, menjamin consensus dalam hal perilku yang di harapkan,dan oleh karena itu menjamin keteraturan social.
     Jelas bahwa dalam masyarakat kompleks kadang-kadang menjamin ada norma-norma dan nilai-nilai yang berlawanan. sebagai contoh, ketika sebagian orang berpikir bahwa kurang baik apabila seorang ibu pergi bekerja, cukup banyak wanita yang ingin bekerja sebagai wujud keinginan akan kebebasan. Anak-anak sekolah mendorong teman-temannya untuk melanggar aturan sekolah, dan mengucilkan teman-teman yang tidak mau ikut.guru seringkali memandang gejala ini dengan cara. Tory Party Coference adalah pertemuan yang membahas sanksi hukuman terhadap orang-orang yang mengkritik polisi.
     Para teoritisi consensus menjel
askan perbedaan dalam perilaku dan sikap dalam konteks keberedaan pengaruh kebudaaan alternatif, karakteristik dari latar social. Contoh yang baik dalam hal ini adalah pendekatan teori ini terhadap ketidak setaraan pendidikan.
Ketidak setaraan pendidikan pendidikan: nalisis teori consensus
Penelitian pendidikan menunjukan,dengan kesimpulan eksplisit, bahwa pencapaian dalam pendidikan sangat kuat kaitannya dengan keanggotaan kelas social, gender, dan asal-usul etnik. Sebagai contoh, banyak sekali bukti yang menunjukan bahwa anak-anak dari kelas buruh pekerja yang memiliki kecerdasan yang sama dari kelas menengah memiliki pencapaian jauh lebih rendah dari pada anak-anak dari kelas menengah itu.
     Untuk mejelaskan hal ini, teori consensus menghimpun konsep-konsep dalam pendekatan mereka mengenai kehidupan social,norma, nilai, sosialisasi, dan kebudayaan. Dimulai dari asumsi dasar bahwa perilaku dan keyakinan di sebabkan oleh sosialisasi ked alam aturan-aturan khusus, eksplanasi mereka mengenai rendahnya pencapaian pendidkan anak-anak kelas pekerja mengidentifikasi:
·         Pengaruh kebudayaan yang mengendalikan anak-anak kelas menengah mencapai sukses akademik.
·         Pengaruh kebudayaan yang menjerumuskan anak-anak kelas pekerja ke dalam pencapaian yang sangat rendah
Penjelasannya biasanya sebagai berikut. Tingginya pencapaian anak-anak kelas menengah di dorong oleh sosialisasi kedalam norma dan nilai yang ideal bagi pencapaian pendidikan. Karena pengalaman pendidikan mereka sendiri. Orang tua kelas menengah sangat mengetahui bagaimana pendidikan berlangsung dan bagaimana mencapainya. Lebih lanjut, mereka nampaknya sangat ingin agar anak-anak mereka mencapai sukses dalam pendidikan. Jadi anak-anak ini tumbuh dalam latar social dimana pencapaian pendidikan bernilai tinggi dan mereka secara terus-menerus didorong dan dibantu untuk mencapai potensi akademik yang tinggi.
     Sebaliknya, latar belakang anak-anak buruh pekerja kerapkali kekurangan sosialisasiyang menguntungkan. Orang tua kelas pekerja nampaknya hanya memiliki pendidikan yang terbatas, mungkin tidak memadai. Meskipun mereka ingin sekali agar anak-anak mereka mencapai sukses pendidikan tetapi mereka nyaris tidak mengetahui bagaimana kalangan kelas menengah mencapai keberhasilan pendidikan itu. Kadang mereka melecehkan pencapaian pendidikan; misalnya, mereka tidak percaka bahwa mereka tidak tahu. Akibatnya, anak-anak mereka diajarkan untuk tidak menghargai pencapaian pendidikan, lebih senang bila anak-anak cepat bekerja,meninggalkan bangku sekolah untuk ikut terjun dalam lapangan kerja rendahan
Durkheim mengklasifikasikan bentuk-bentuk solidaritas menjadi dua macam, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik adalah aturan-aturan kolektif yang dijalankan sekelompok masyarakat yang memiliki pandangan sama tentang hidup, solidaritas ini dapat kita temui pada masa pra Islam dalam tali kekerabatan khabilah. Sedangkan solidaritas organik pada dasarnya juga terjadi karena adanya persamaan pandangan hidup namun lebih menekankan sisi rasionalitas dan harus melalui kesepakatan, solidaritas semacam ini dapat kita temui pada kehidupan modern, sebagai contoh seorang bawahan yang taat pada atasannya dan bisa bekerjasama dengan baik bukan karena adanya ikatan emosional, namun karena adanya sebuah kesepakatan yang harus diterima untuk saling memajukan perusahaan di mana mereka sama-sama bekerja.
Apa yang dipikirkan Emile Durkheim adalah kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung di dalam institusi-institusi, hukum-hukum, moral-moral dan ideologi-ideologi politis. Semua ini bisa saja bekerja di dalam kesadaran individu tetapi semua itu merupakan fenomena yang dapat dibedakan yang dapat ditemukan dengan mengamati tingkah-laku pada umumnya, tidak de ngan memeriksa isi pikiran kita .


KESIMPULAN
Meskipun pada dasarnya sosiologi itu bebas nilai tetapi ternyata sosiologi tidak dapat tidak memihak. Jelas sekali bahwa teori structural-konsensus atau fungsionalisme Durkheim memiliki pemihakan terhadap orang-orang yang di untungkan secara ekonomi dalam masyarakat. Konsep ini sosiologi itu bebas nilai nampaknya sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Ini adalah sebuah contoh mengenai penerapan teori konsensus pada fakta kehidupan sosial. Dari sudut pandang teoritisi, berbagai pola kelakuan merupakan produk dari berbagai pola sosialisasi. Nampaknya cara pandang ini berlawanan dengan komitmen teori-teori ini terhadap gagasan bahwa keteraturan sosial dalam suatu masyarakat adalah hasil kesepakatan atau konsensus di kalangan para anggotanya mengenai bagaimana berperilaku dan apa yang dipikirkan. Akan tetapi teori konsensus mengatakan bahwa meski terdapat perbedaan kebudayaan di antara kelompok-kelompok, akan meski terdapat sejumlah sub-budaya dalam suatu kesatuan besar kebudayaan, dalam semua masyarakat konsensus itu selalu ada. Hal ini karena semua masyarakat memiliki nilai-nilai yang mantap mengenai suatu arti penting yang tidak perlu diperdebatkan. Nilai-nilai ini mungkin disebut nilai-nilai inti atau nilai-nilai sentral, dan sosialisasi memantapkan setiap orang untuk tunduk pada nilai-nilai itu.

di perbolehkan untuk mengkopi dan menjadikan artikel ini sebagai referensi dan yang lainnya.
dengan syarat harus menyertakan catatan kaki dari alamat blog ini dan tolong ya, transver pulsa 1000 rupiah ke nomor 085708860032. terimasih sobat yang sudah berbaik hati.
jika kedua syarat itu terpenuhi, maka halal.