Teori
Struktural-Konsensus Emile Durkheim
Durkheim memandang konsensus-struktural ialah di mana
seorang harus mempertahankan keberadaannya atau status sosialnya sehingga orang
tersebut tidak mengalami perubahan dalam lingkungan sosialnya. Sosiologi ada
dua macam yaitu sosiologi orang kaya dan sosiologi orang miskin, dan pelopor
sosiologi orang kaya tersebut adalah Emile Durkheim. Menurut Emile Durkheim
sosiologi ialah ketika seseorang harus bisa menciptakan kondisi yang stabil
tanpa ada perubahan. Contoh: pada masa orde baru presiden memberikan mandate
bahwa semua PNS untuk memilih golongan partai yang telah disepakati oleh
presiden pada saat itu, hal ini membuktikan bahwa pada masa itu teori
struktural-konsensus dalam perspektif Emile Durkheim telah digunakan dalam
sistem politik untuk mempertahankan suatu kondisi yang stabil tanpa ada
perubahan.
Diberi nama structural dikarenakan struktur lebih
dipentingkan oleh Durkheim, sedangkan konsensus yang berarti kesepakatan,
maksudnya consensus itu karena seolah-olah ada kesepakatan. Ilmu sosiologi
muncul karena rata-rata orang itu berpikir seolah-olah ada kesepakatan.
Walaupun ada orang yang berpikir sesuatu aturan tidak benar, tetapi kebanyakan
orang berpikir “kayaknya aturan ini sudah benar”, sehingga orang yang berpikir
tidak benar pun akan berpikir seperti orang-orang yang berpikir benar. Fakta
mempengaruhi individu.
Durkheim juga menegaskan ciri yang penting dalam teori
konsensusnya yaitu bahwa struktur sosial terdiri dari norma-norma dan nilai,
yaitu di mana setiap orang yang memiliki budaya berbeda tentu mempunyai
perilaku yang berbeda pula, dan kita harus sosialisasi agar bisa menyelaraskan
kehidupan dalam lingkungan sosial yang berbeda budaya. Pencapaian kehidupan
sosial manusia dan keteraturan sosial dalam masyarakat dipahami Durkheim
sebagai sebuah solidaritas sosial yaitu di mana manusia belajar dasar-dasar
standarisasi menjalani aturan perilaku melalui sosialisasi, walaupun pada
kenyataannya aturan-aturan tersebut berada eksternal dalam diri manusia
tersebut, meski tidak nyata namun struktur kebudayaan tersebut dirasakan nyata
bagi yang menjalankannya dalam satu lingkungan sosial .
Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam
masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai
bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik
mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat
sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain
itu, sebagai perbandingan John Hagan mengklasifikasikan teori-teori kriminologi
menjadi :
§
Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat
seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial.
Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum
sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.
§
Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori
Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian
kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka
tinggal/hidup.
§ Teori Over
Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori
Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi
terhadap kejahatan.
Dari klasifikasi di atas, dapat ditarik konklusi bahwa
antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidaklah identik/sama.
Aspek ini teoritisi utama (dramatis personal) yang mencetuskannya. Selain itu,
pengklasifikasian teori juga dipengaruhi adanya subyektivitas orang yang
melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan dikotomi dan bersifat
artifisial.
Teori Konsensus
berpendapat bahwa aturan kebudayaan suatu masyarakat, atau struktur, menentukan
perilaku anggotanya, menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara
tertentu yang mungkin ber beda dari masyarakat yang lain. Mereka melakukan hal
itu dengan cara yang mirip dengan kontruksi
fisik bangunan, yang menstrukturkan tindakan orang yang berada di
dalamnya. Ambillah contoh perilaku siswa di sekolah. Ketika berada dalam
lingkungan sekolah, mereka memiliki pola perilaku yang relative teratur. Mereka
berjalan disepanjang koridor, naik dan turun
tangga, keluar dan masuk kelas melalui pintu tertentu. Mereka tidak
keluar atau masuk kelas melalui jendela, memanjat tembok, dan sebagainya.
Gerakan fisik mereka dibatasi oleh bangunan sekolah. Karena hal ini
mempengaruhi semua siswa sama, perilaku mereka di dalam sekolah akan sama dan
akan menunjukkan pola yang cukup jelas.
Dalam teori
consensus, hal yang sama juga terjadi di dalam kehidupan social. Individu akan
berperilaku sama dalam latar social yang sama karena mereka dibatasi oleh
aturan-aturan kebudayaan yang sama. Meskipun struktur social ini tidak Nampak
dalam hal struktur fisiknya, orang yang
disosialisasikan dalam aturan ini menemukan hal ini menentukan.
Tingkatan dimana
aturan-aturan kebudayaan ini bekerja dapat bervariasi. Aturan tertentu, hukum
misalnya, bekerja pada tingkatan seluruh masyarakat dah menstrukturkan perilaku
setiap orang yang hidup di dalam
masyarakat tersebut. Aturan-aturan yang lebih khusus, menstrukturkan
orang-orang dalam latar yang lebih khusus pula. Misalnya, anak-anak dikelas diharapkan
untuk berperilaku tertib, dan penuh perhatian. Contoh lain, ketika petugas
polisi atau perawat, atau tentara sedang bertugas, aturan kebudayaan tertentu
menstrukturkan kelakuan mereka sangat kaku. Selepas batas-batas ini tidak
diterapkan, dan sebagai gantinya adalah, aturan-aturan dalam keluarga, sebagai
ayah,ibu atau anak, atau sebagai suami atau istri.
Hal di atas
menunjukkan bagaimana teori struktur social dari aturan kebudayaan bekerja.
Aturan ini tidak diterapkan kepada individu itu sendiri, melainkan kepada
posisi dalam struktur social yang mereka tempati. Penjaga toko, polisi,
pengatur lalu lintas, guru atau siswa dibatasi oleh ekspektasi kebudayaan yang
diterapkan pada posisi ini, tetapi hanya
jika mereka menempati posisi tersebut. Dalam lingkungan yang lain, dalam lokasi
yang lain dalam struktur social sebagai ayah atau ibu, pemain squash, pendukung
tim sepak bola, jemaah gereja, dan seterusnya. Aturan-aturan yang lain bekerja.
Para sosiolog
menyebut posisi-posisi dalam struktur social sebagai peranan. Aturan yang
menstrukturkan perilaku orang-orang yang menempati posisi disebu norma. Ada
aturan kebudayaan tertentu yang tidak melekat pada peranan atau perangkat
peranan tertentu. Disebut nilai, yang merupakan ringkasan dari cara-cara hidup
yang sudah disepakati bersama, dan bertindak sebagai basis yang dari basis ini
norma-norma tertentu berlaku. Jadi, misalnya ,”Pendidikan harus menjadi kunci
keberhasilan” ; “Hubungan keluarga harus menjadi peranan paling penting untuk
dilindungi” ; “ Kemandirian harus menjadi syarat bagi pencapaian individual.”
Semua ini adalah nilai, dan nilai ini menjadi prinsip umum, yang menjadi sumber
norma bagi mengarahkan perilaku disekolah, dirumah, dan ditempat dan kerja.
Menurut teori
sosiologi ini, sosialisasi menjadi norma dan nilai menghasilkan kesepakatan,
atau consensus, diantaranya orang-orang mengenai perilaku dan keyakinan yang
sesuai, yang tanpa kedua hal ini masyarakat tidak dapat hidup. Itulah sebabnya cara pandang ini
disebut teori structural consensus.melalui sosialisasi, aturan-aturan
kebudayaan menstrukturkan perilaku, menjamin consensus dalam hal perilku yang
di harapkan,dan oleh karena itu menjamin keteraturan social.
Jelas bahwa dalam
masyarakat kompleks kadang-kadang menjamin ada norma-norma dan nilai-nilai yang
berlawanan. sebagai contoh, ketika sebagian orang berpikir bahwa kurang baik
apabila seorang ibu pergi bekerja, cukup banyak wanita yang ingin bekerja
sebagai wujud keinginan akan kebebasan. Anak-anak sekolah mendorong
teman-temannya untuk melanggar aturan sekolah, dan mengucilkan teman-teman yang
tidak mau ikut.guru seringkali memandang gejala ini dengan cara. Tory Party
Coference adalah pertemuan yang membahas sanksi hukuman terhadap orang-orang
yang mengkritik polisi.
Para teoritisi
consensus menjel
askan perbedaan dalam perilaku dan sikap dalam konteks
keberedaan pengaruh kebudaaan alternatif, karakteristik dari latar social.
Contoh yang baik dalam hal ini adalah pendekatan teori ini terhadap ketidak
setaraan pendidikan.
Ketidak setaraan pendidikan pendidikan: nalisis teori
consensus
Penelitian pendidikan menunjukan,dengan kesimpulan
eksplisit, bahwa pencapaian dalam pendidikan sangat kuat kaitannya dengan
keanggotaan kelas social, gender, dan asal-usul etnik. Sebagai contoh, banyak
sekali bukti yang menunjukan bahwa anak-anak dari kelas buruh pekerja yang
memiliki kecerdasan yang sama dari kelas menengah memiliki pencapaian jauh
lebih rendah dari pada anak-anak dari kelas menengah itu.
Untuk mejelaskan
hal ini, teori consensus menghimpun konsep-konsep dalam pendekatan mereka
mengenai kehidupan social,norma, nilai, sosialisasi, dan kebudayaan. Dimulai
dari asumsi dasar bahwa perilaku dan keyakinan di sebabkan oleh sosialisasi ked
alam aturan-aturan khusus, eksplanasi mereka mengenai rendahnya pencapaian
pendidkan anak-anak kelas pekerja mengidentifikasi:
· Pengaruh
kebudayaan yang mengendalikan anak-anak kelas menengah mencapai sukses
akademik.
· Pengaruh
kebudayaan yang menjerumuskan anak-anak kelas pekerja ke dalam pencapaian yang
sangat rendah
Penjelasannya biasanya sebagai berikut. Tingginya pencapaian
anak-anak kelas menengah di dorong oleh sosialisasi kedalam norma dan nilai
yang ideal bagi pencapaian pendidikan. Karena pengalaman pendidikan mereka
sendiri. Orang tua kelas menengah sangat mengetahui bagaimana pendidikan
berlangsung dan bagaimana mencapainya. Lebih lanjut, mereka nampaknya sangat
ingin agar anak-anak mereka mencapai sukses dalam pendidikan. Jadi anak-anak
ini tumbuh dalam latar social dimana pencapaian pendidikan bernilai tinggi dan
mereka secara terus-menerus didorong dan dibantu untuk mencapai potensi
akademik yang tinggi.
Sebaliknya, latar
belakang anak-anak buruh pekerja kerapkali kekurangan sosialisasiyang
menguntungkan. Orang tua kelas pekerja nampaknya hanya memiliki pendidikan yang
terbatas, mungkin tidak memadai. Meskipun mereka ingin sekali agar anak-anak
mereka mencapai sukses pendidikan tetapi mereka nyaris tidak mengetahui
bagaimana kalangan kelas menengah mencapai keberhasilan pendidikan itu. Kadang
mereka melecehkan pencapaian pendidikan; misalnya, mereka tidak percaka bahwa
mereka tidak tahu. Akibatnya, anak-anak mereka diajarkan untuk tidak menghargai
pencapaian pendidikan, lebih senang bila anak-anak cepat bekerja,meninggalkan
bangku sekolah untuk ikut terjun dalam lapangan kerja rendahan
Durkheim mengklasifikasikan bentuk-bentuk solidaritas
menjadi dua macam, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Solidaritas mekanik adalah aturan-aturan kolektif yang dijalankan sekelompok
masyarakat yang memiliki pandangan sama tentang hidup, solidaritas ini dapat
kita temui pada masa pra Islam dalam tali kekerabatan khabilah. Sedangkan
solidaritas organik pada dasarnya juga terjadi karena adanya persamaan
pandangan hidup namun lebih menekankan sisi rasionalitas dan harus melalui
kesepakatan, solidaritas semacam ini dapat kita temui pada kehidupan modern,
sebagai contoh seorang bawahan yang taat pada atasannya dan bisa bekerjasama
dengan baik bukan karena adanya ikatan emosional, namun karena adanya sebuah
kesepakatan yang harus diterima untuk saling memajukan perusahaan di mana
mereka sama-sama bekerja.
Apa yang dipikirkan Emile Durkheim adalah
kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu
yang terkandung di dalam institusi-institusi, hukum-hukum, moral-moral dan
ideologi-ideologi politis. Semua ini bisa saja bekerja di dalam kesadaran
individu tetapi semua itu merupakan fenomena yang dapat dibedakan yang dapat
ditemukan dengan mengamati tingkah-laku pada umumnya, tidak de ngan memeriksa
isi pikiran kita .
KESIMPULAN
Meskipun pada dasarnya sosiologi itu bebas nilai tetapi
ternyata sosiologi tidak dapat tidak memihak. Jelas sekali bahwa teori
structural-konsensus atau fungsionalisme Durkheim memiliki pemihakan terhadap
orang-orang yang di untungkan secara ekonomi dalam masyarakat. Konsep ini
sosiologi itu bebas nilai nampaknya sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Ini adalah sebuah contoh mengenai penerapan teori konsensus
pada fakta kehidupan sosial. Dari sudut pandang teoritisi, berbagai pola kelakuan
merupakan produk dari berbagai pola sosialisasi. Nampaknya cara pandang ini
berlawanan dengan komitmen teori-teori ini terhadap gagasan bahwa keteraturan
sosial dalam suatu masyarakat adalah hasil kesepakatan atau konsensus di
kalangan para anggotanya mengenai bagaimana berperilaku dan apa yang
dipikirkan. Akan tetapi teori konsensus mengatakan bahwa meski terdapat
perbedaan kebudayaan di antara kelompok-kelompok, akan meski terdapat sejumlah
sub-budaya dalam suatu kesatuan besar kebudayaan, dalam semua masyarakat
konsensus itu selalu ada. Hal ini karena semua masyarakat memiliki nilai-nilai
yang mantap mengenai suatu arti penting yang tidak perlu diperdebatkan.
Nilai-nilai ini mungkin disebut nilai-nilai inti atau nilai-nilai sentral, dan
sosialisasi memantapkan setiap orang untuk tunduk pada nilai-nilai itu.
di perbolehkan untuk mengkopi dan menjadikan artikel ini sebagai referensi dan yang lainnya.
dengan syarat harus menyertakan catatan kaki dari alamat blog ini dan tolong ya, transver pulsa 1000 rupiah ke nomor 085708860032. terimasih sobat yang sudah berbaik hati.
jika kedua syarat itu terpenuhi, maka halal.